Wednesday, June 24, 2009

about past (hurting now)

Dulu, kata oma, pokoknya kata semua orang. Bapa aku memang gak menemani proses persalinan mama. Bapa dilarang masuk ama opa buat nemenin mama. Alasannya sih simple, katanya takutnya malah bikin heboh (heboh?? kabar-kabari.. aku anak pertama dan akan menjadi cucu cewe satu-satunya. Mungkin faktor itu ya yang ntar kemungkinan bapaku heboh ndiri. hahaha.. wajar si). Alhasil mama cuman ditemani dokter serta perawat-perawatnya buat ngeluarin paksa diriku. Ya memang agak sedikit dipaksa karena aku itu katanya rewel banget!! Gak mau lahir-lahir.. hehehe Sementara opa beserta keluarga lainnya menunggu diluar buat nenangin bapa yang katanya udah kasak-kusuk gak karuan. Dan skali lagi aku mengadakan pembelaan buat bapa, ya wajar lah. Siapa juga yang gak bakal panik pada saat kelahiran anak pertamanya??? Gak ada yang bercerita lagi tentang kejadian setelah kelahiranku. Ya, paling-paling nangas-nangis bahagia gitu, ya kayak umumnya lah pokoknya.

Setelah dua minggu aku menghirup sesaknya udara tahun 89an, aku harus dibawa paksa ke suatu pelosok pulau kalimantan karena bapaku ditugaskan disana, dan sebagai istri yang baik mamaku harus mengurusi suaminya kan?? Dian kecil dibawa ke perjalanan berat nun jauh ke suatu tempat yang bernama Pagatan. Mungkin keadaan medan jalan ke sana gak semudah sekarang. Tempat indah nan eksotis dipinggir pantai itu harus dibayar dengan perjalanan yang super berat. Dian kecil tumbuh disana sekitar 2,5 tahun, dipinggir pantai, dan gak aneh aku sekarang suka pantai. Sehabis itu aku digotong lagi menyebrang, ke sebuah pulau dengan ibu kota daerahnya kotabaru. Entah lah itu kecamatan atau kabupaten. Yang pasti, kehidupan dian kecil kembali bergelut dengan yang namanya perpantaian.

Hingga usia sekolah Taman kanak-kanak, aku kembali nomaden ke daerah kalimantan tengah, Pangkalan Bun. Daerah yang doyan banget banjir itu menjadi saksi kepolosan kehidupan dian kecil (yang sekarag udah gak kecil lagi). Gak lama aku mengenal tempat aneh itu (anehh.. sumpah... masa iya beli pisang dijual kiloan???), aku kembali harus pindahan lagi. Masih didaerah Kalimantan Tengah sih, tapi jaraknya naujubillah jauh bangett booo dari Pangkalan Bun itu. Ya tapi gak apalah, akhirnya bisa tinggal di ibu kota provinsi yang pastinya perkembangannya lebih maju ketimbang cuman daerah kabupaten atau kecamatan.

Tapi waktu Bapa ku kembali dipindah tugaskan, aku masih duduk di bangku TK Nol gede. Karena semua urusan pindah-pindah itu ribet, maka aku dititipkan di Banjarbaru, kebetulan Bapa sudah menyiapkan rumah disana. Dan mulai dari sini lah inti dari cerita (baca: curhat colongan) note ini.

TK Nol gede aku disekolah kan di TK teratai di belakang komplekku. Yang sekarang di daerah UNLAM, disebelah asrama wasaka. Mulai saat itu aku mulai belajar mandiri, belajar hidup jauh dari orang tua. Anak kecil yang harus survive sendiri dan dengan bimbingan jauh dari orangtuanya. Aku ingat banget, dulu jarang ada hari dimana aku bisa bareng mama bapaku. Mungkin dulu aku belum ngerti apa itu artii sebuah keluargaku. Yang aku tau dulu hanya sekolah dan setelah sekolah makan terus main, terus itu pulang-pulang mandi, makan lagi, trus tidur. Saat itu aku bisa enjoy dengan keadaan itu, bisa terima semuanya. Mungkin benar memang dunia anak-anak itu gak jauh-jauh dari yang namanya dunia bermain. Jadiii... gak ada lagi pemikirannya selain ke sekolah dan pergi bermain.

Melanjutkan sekolah ke bangku sekolah dasar, mungkin karena gak tega melihat aku akan berkembang jiwanya tanpa bimbingan kedua orangtuanya, alhasil aku diboyong ke Palangkaraya. Walau sudah tinggal dimana orangtuaku bertugas, gak serta-merta aku bisa punya waktu penuh bersama kedua orangtuaku. Keduanya masih sering bepergian mengurusi tugasnya dan tanggung jawabnya masing-masing. Dan sekali lagi, dian kecil waktu itu hanya memegang teguh suatu hal tentang 'dimana saja dan sedang apa saja. orangtua itu selalu menyayangi dan akan trus berdoa untuk anaknya'. Dan aku gak pernah protes dengan keadaan itu.

Pada fase setelah itu, mulai ada percikan kecil di kehidupanku. Setelah suatu kecelakaan speedboat, mama harus dirawat di Surabaya, yang aku tau waktu itu harus berpisah lagi dengan kedua orangtuaku. Walau aku tetap mereka bawa ke Tulungagung untuk bersekolah disana yang kalo dihitung-hitung lebih dekat dengan surabaya ketimbang harus menitipkan aku dibanjarbaru.

Waktu itu Bapa kesana-kemari mengurusi kami berdua, aku dan mamaku. Kerjaannya di Palangkaraya dia tinggalkan begitu saja, mungkin pikirannya saat itu hanya tertuju kepada istrinya dan anaknya saja. Hingga kini aku masih ingat bagaimana perjuangan seorang suami yang juga seorang bapa memenuhi perannya. Sampe kapanpun, pelajaran, pengalaman, dan sedikit trauma pada waktu itu gak akan pernah terhapus di memory ku. Aku ingat, seringkali aku melihat Bapa tiba dari surabaya sore hari bertepatan dengan pulang sekolahku (SD ku itu buat anak-anak kelas 1,2, dan 3 masuk siang), dengan senyum khasnya, dia menyambut kepulanganku lalu memelukku dan langsung memberikan oleh-oleh yang dia beli dijalan, dulu sering banget dibawakan tahu yang dipotong kecil-kecil dibungkus, trus rasanya agak asin, yang warnanya kekuningan, yang biasanya dijual di angkutan kota di jawa timur (yang sering naek bis kota didaerah jawa timur pasti tau). Aku kadang cuman meringis menerimanya, tapi tetep memakannya sambil bercerita kehebohanku disekolah. Biasanya hal yang aku ceritakan tentang betapa bergunanya bahasa tubuh itu, karena aku yang gak bisa bahasa jawa waktu itu hanya menggunakan bahasa rimba itu untuk melakukan interaksi ke teman-teman yang kebanyakan susah banget klaau diajak ngobrol pake bahasa indonesia. Biasanya malam menjelang, aku terus saja mengekor kemana bapaku pergi. Sampe shalat atau mandi aja aku tungguin!! Kalau tiba waktunya tidur, aku gak bakal tidur kalau gak ditemenin. Okeyy.. aku emang manja waktu itu. Cerita pengantar tidur waktu itu bukan cerita tentang putri tidur atau Cinderella atau cerita yang selalu berakhir dengan kebahagiaan pemeran utamanya. Tetapi tentang cerita untuk bisa tetap ceria, tetap bisa bertahan dengan keadaan yang gak menentu saat itu, tetap bisa menjalani hariku sewajarnya, bertahan dengan segala hal yang sedang dihadapi. Aku cuman dijelaskan kalo saat itu adalah cobaan hidup. Kalau bisa menjalaninya aku bakal dapat hadiah setelah itu. Okelah, yang aku pikirkan hanya sebuah hadiah nyata, maksudnya sebuah barang gitu. Ahaha,, begog juga aku waktu itu. Tapi aku tetap tertidur dengan dongeng pengantar tidur jenis itu, lalu paginya aku terkadang tak menemukan Bapaku disebelahku, dan pasti setalah sadar Bapa kembali ke Surabaya, aku mengambil bantal lalu menutup muka sambil menangis sekenceng-kencengnya. Weekend?? Hahaha,, apa itu weekend?? Yang aku tau habis hari sabtu itu ya hari senin.

Setelah semuanya bisa kami bertiga lewati, benar juga kata Bapa. Pasti ada suatu hal yang manis yang bakal kita kecap. Walau kami gak bisa berkumpul, karena bapa harus meneruskan dinasnya ke Palangkaraya, sementara itu aku dan mamaku tinggal di Banjarbaru. Dan skali lagi aku harus bisa menjalani hari tanpa ditemani secara fisik oleh kedua orangtuaku lengkap.

Bapa baru dipindah kerja di Banjarmasin saat aku SMP, mungkin ini sebuah hadiah yang dulu sering aku minta ke Allah. Buat bisa bersama, dan akhirnya Allah mengabulkannya.

Gak lama aku bisa tinggal lengkap bersama (yah kalo dibandingin dimana aku mesti pisah-pisah hidup sendiri-sendiri dengan kedua orangtuaku), sekarang aku harus kembali meninggalkan mereka. Ya kali ini aku yang memutuskan untuk keadaan ini. Untuk alasan cita-cita sebenernya.. Kali ini mungkin akan lebih berat. Gak ada lagi yang namanya setiap minggu bisa ketemu, gak ada namanya setiap bulan bisa ketemu. Yang ada hanya waktu lebaran dan liburan semester bisa pulang!!

Sebenernya dengan alasan aku bercerita sangat panjang lebar seperti ini. Buat mereka-mereka yang selalu punya alasan untuk melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu. Jangan pernah bangga dengan cerita kalian-kalian sekarang ini.

Jangan pernah melebihkan keadaan dan selalu berbuat semaunya dengan alasan cerita diatas yang tenyata hanya kalian-kalian alami sekarang. Aku pernah ada dalam fase dimana kalian-kalian rasakan sekarang. Dan kembali merasakannya saat ini. Jauh dari orang tua, mengurusi diri memang sepenuhnya dengan kesadaran diri. Jangan pernah berlagak didepan ku seolah kalian-kalian yang hanya pernah menderita, yang sok menasihati karena merasakan hal itu.

Cape aja selalu toleran dengan kalian-kalian, sedangkan aku selalu harus disepelekan. Dipandang sebelah mata. Dan dianggap menjadi anak yang selalu bahagia dengan kehidupan masa kecilnya. Dan akhirnya dianggap tak pantas untuk dihargai sebagai manusia yang punya pengalaman hidup.

Huff… jika kembali kepada narasi ceritaku. Sepertinya aku harus memiliki banyak waktu untuk bersama. Banyak waktu yang ternyata terbuang dengan semua jalan yang dijalani. Aku gak berani bilang itu cobaan hidup. Karena hari ini aku mengalami hal yang membuatku tak ada satupun orang yang berhasil memotivasiku.

Kadang aku hanya bisa menangisi hal yang sudah terjadi di masa laluku, melihat kesekitar dengan semua orang yang berbahagia bersama keluarga mereka. Sebenarnya jika bukan sekarang, kapan lagi akhirnya aku harus bisa terus bersama kedua orangtuaku. Aku perempuan yang terkadang harus mengikuti kemanapun suaminya pergi, dan memang seharusnya demikian kan??

Mungkin separuh lebih dari umur kehidupanku, aku lebih banyak hidup sendiri. Jika aku harus terus mengingat dari bagian kehidupanku yang dulu, hanya terlintas sedikit aku tersenyum, walau aku tau itu rasanya tulus dan memang aku merasakan yang terbaik dari semua senyum yang ada didiriku hingga saat ini.

Aku sepertinya meminta begitu banyak. Aku tak tau bagaimana lagi harus mengulangi masa lalu yang harus aku buang dengan segala macam bentuk traumatis dari segala kejadian yang belum bisa aku toleran. Aku bukan menyesali takdir, aku hanya menangis aku tak bisa mendapat berkeranjang-keranjang senyuman yang pada hari ini bisa menjadi motivator ku.

Love you mom, love you dad.. maaf untuk tulisan ini :(

 
Designed by Lena Graphics by Elie Lash